Saat perempuan di titik nol, saya pikir mudah memasuki rongga-rongga stigma di peredaran hati. Saya tidak butuh apa, saya hanya takut sendirian untuk berjalan menapaki langkah demi langkah. Saya khawatir akan ketidakpastian duniawi. Saya lelah. Saya cemas. Karena bagi saya, ini mengerikan. Saya tidak berarti. Saya kaum peraduan kekalahan. Saya tidak sanggup memulai. Tapi saya juga tidak mau dibuai iming-iming fiksi mini.
Mudah bagi saya menjatuhkan hati ini dimana saja. Tapi akankah dia menembus hierarki teratas saat saya ada dititik nol. Saya kosong, saya tidak berfikir apa. Mencari persamaan atau mindset idaman tidak juga saya temukan. Sudahlah, dia diam dan hanya berdiri disini mungkin sudah cukup.
Kemudian keadaan membalik, saya harus diam. Terjadi fenomena monotonisasi satu arah. Kualitas diri yang membutuhkan pembidanan menjadi tumpul. Ulasan demi ulasan hanya membuat saya merindukan orang lain disana. Membuat saya ingin berlari mencarinya, atau sekedar memeluknya karena rindu yang tak pernah habis dimakan waktu. Determinasi perempuan bodoh yang habis dimakan perasaan. Keadaan yang mungkin tidak pernah menjadi causa timbal balik.
Saya benci ini, harus membanding-bandingkan ataupun berharap keadaan sempurna yang memang tidak pernah ada. Sampai saat ini saya mencoba menerima, tanpa alasan yang tepat untuk beralih.
Sudahlah, kenapa manusia selalu dibebani tampilan kasat mata. Kenapa keistimewaan buah dari kepalanya tidak bisa melengkapi diri saya yang kosong. Kenapa?? Kenapa ini menjadi satu arah, satu persepsi, satu asumsi, satu penerimaan, satu determinan, satu, dan hanya satu,.. Mungkin karena alasannya memang cuma satu...
Harusnya saat ini saya penuh rasa syukur, saya kasmaran, saya dikelilingi bunga imajinasi yang segar serta pacuan jantung yang lebih dari biasanya. Seketika fikiran harusnya langsung dipenuhi beban-beban pembuang waktu tak berguna. Kemudian penantian, kemudian pengharapan, kemudian iming-iming ketidakpastian. Kemudian peraduan argumen di kepala, kemudian uji hipotesa penerimaan atau penolakan tanda persetujuan. Kemudian kaki kembali menyentuh tanah. Tentang realitas yang kian jauh. Tentang mimpi yang tidak boleh berubah. Tentang hariku yang membutuhkan fase metamorfosa...
Serahkan sajalah, pada akhirnya tetap saja saya yang harus menentukan kehidupan saya sendiri. Mungkin dia jawabannya, atau mungkin Tuhan sedang mecoba melunakkan hati saya. Mungkin Tuhan ingin saya yang lebih baik. Atau mungkin kembali pada iming-iming fiksi mini peraduan dari kaum kekalahan.
Mungkin Dia akan ada di saat yang tepat. Dia.. Siapa Dia??