Sebelum ini aku pernah menjadi kepingan tak bertuan. Pecahan dan bulir-bulir yang tak tahu arah tujuan.
Sebelum ini aku gundah tak berkecukupan, mencari-cari arti. Sedemikian tak berartinya kah diri ini? Seperti pecundang lemah yang bertumpu dan kemudian dibuai oleh iming-iming fiksi mini karena lelah berjalan, lelah berlari, dan menjadi lambat atau bahkan berhenti. Dunia diam. Semesta diam. Mungkin iba melihat aku yang terlunta-lunta. Lelah berkompetisi, atau terdeterminasi sebagai pecundang. Bahkan aku belum menyentuh arenanyaa karena aku terlalu takut sebagai pecundang.
Sebagai apa aku menyebutkan diriku, loser kah, pecundang kah?! Kemudian kembali mencari-cari mentari, Tuhan, apakah ini sudah senja, apa ini sudah renta?
Disela sela keterpurukan entah dari mana aku harus memulai...
Dari kecil aku tumbuh dan menjadi dewasa memang tanpa cita-cita yang pasti. Tapi kepastian dalam hidupku adalah aku manusia yang berkeinginan. Yang menjadi keyakinanku adalah aku hanya ingin menjadi perempuan yang berbeda. Dalam kasat mata duniawi aku ingin mengangkat derajat kedua orang tuaku di mata manusia. Gamang, sampai sekarang keinginan itu bias tanpa signifikansi. Lagi-lagi di sela-sela rasa kejatuhan akan harap, pengharapan yang tidak tahu diri ini pun tidak hilang diberantas.
Dalam permasalahan yang silih kian satu menghampiri dan yang lain terlewati begitu saja, aku tidak banyak bisa berharap lebih. Apalagi berkeinginan untuk mengendalikan segala sesuatu. Sudahi saja ya Tuhan, Ya aku sempat berfikir begitu. Kenapa malaikat pencabut nyawa tidak datang juga, apa harus aku yang menghampirinya. Tuhan, aku tidak sekuat itu untuk jatuh dan jatuh lagi di kehidupan selanjutnya. Aku tidak pernah menyalahkan keadaan atau keterlemparan ini. Aku ikhlas.. Tercipta sebagai perempuan adalah hidayah yang paling indah. Dikelilingi orang-orang hebat layaknya bonus dalam hidupku. Terstigma dalam suatu idealisme dengan kukuh, adalah bentuk keberkahan tak terhingga. Dan ketika dunia kini telah menjadi apa, aku di titik ini Ya Rabbku. Akalku bertindak, hatiku berfikir, rasioku mengalir, menafsirkan satu persatu interpretasi yang kadang tak mampu ketiganya menjawab.
Lalu kemudian, satu persatu malaikat Tuhan melemparkan penyangga. Kepingan-kepingan kian berkerumun membuat sebuah bentuk. Mungkin tak bersenyawa, mungkin tanpa harap, mungkin dengan fiksi mini iming-iming dari kaum kekalahan. Atau mungkin, sebuah jawaban atas determinan-determinan abadi.
Lagi-lagi hati bertanya, "apa itu harap?"