Terapi.. Terapi.. Terapi..
Kalo saya penderita penyakit, pasti sudah collapse karena ngga pernah melakukan terapi. Atau bisa juga dibilang sembuh total
karena ngga butuh terapi lagi.
Tapi saya tidak bisa meninggalkan
keadiksian saya pada terapi saya ini. Ini membuat merasa lebih baik. Entah dengan siapa yang melihat, apa yang
mereka fikirkan tentang saya. Mengenal saya kah, tidak kenal kah, mencibir kah,
mengagumi kah. Sirkulasi yang pasti jarak 'others' ini berkisar seperti bumi dan
matahari. Hanya kebetulan yang bisa mempertemukan kita dari ribuan probabilitas
semu ini.
Baiklah sudah tidak tahu lagi bagaimana
bermain kata untuk menutupinya agar terlihat tidak terlalu sederhana, menyedihkan,
hanya begitu saja, atau apalah. Saya kehabisan tudung penutup. Akan saya buka
saja semua, berharap orang jahat jauh peredaran ini.
Pembahasan subtitel disini adalah trilogi
rasa. Karena saking sibuknya saya akhir-akhir ini. Atau karena miskin koneksi
internet. Atau kehilangan perkakas jaringan media. Atau karena a,
b, c, yang too much reasons saya mau bercerita tentang 3 hal yang sedang
bergelut dengan keseharian saya selama ini. Mau saya mulai dari mana kah terapi
saya ini. Kita mulai dengan yang kesehariannya paling dekat. My new life, new adventure.
Berjarak kurang lebih 40
km dari persinggahan hidup menuju kantor saya. Segala perbincangan mengenai
jaraknya yang dibilang antariksa, antar galaksi, antar roket lalalala.. Saya
sudah khatam. Tetapi alih-alih pergunjingan dan metafora yang makin hiperbola
kalah dengan hangatnya tali keluarga yang mendekat, mengisi sisi gelap, dan
menjalin tali kekurangan. Lebih dekat saya perhatikan, inilah rumah saya.
Nyaman tidak jauh dari jalanan besar, pusat mall, brand-brand yang dibutuhkan
cepat, dan yang paling utama adalah pertolangan pertama dari kakak ipar.
Berdomisili di sisi Barat daerah planet
lain ini, berhimpitan dengan perumahan terkenal yang konon kaum elite yang
mendiaminya (dimana harga rumah tipe 36 saja lebih dari 1 M), saya mendiami
sebuah perumahan di tengah perkampungan kota "Bekasi". Logat yang
kasar keras berayun nada betawi tapi berhati baik, membuat saya tidak terlalu
khawatir membaur. Sebuah perumahan kecil untuk keluarga yang rata-rata memiliki 1 atau 2 buah anak, dengan fase keluarga berkembang, adalah anggotanya. Tidak
terlalu buruk, tapi juga tidak terlalu prestige. Simple kata saya sangat betah
di antariksa ini. Tepat berjarak 2 rumah dari saya, adalah kediaman kakak ipar saya
yang lebih dahulu ber-suhu dan bersosialisasi. Sontak hal ini membuat saya tidak begitu
kesusahan adaptasi, plus minta tolong sebagai semua tumpuan P3K. Setelah melihat kenyamanan ini, ibu saya
pun mengiba agar anak-anaknya pun berkumpul satu arena. Jakarta yang
sulit dicapai oleh jarak tempuh dan waktu, belum lagi ditambah sarang kemacetan, maka dengan segala kebetulan tersisalah 3 rumah kosong di pojokan. 2 dari 3 rumah
diambil kakak kandung saya dan kakak ipar saya. Maka jadilah 4 dari 20 rumah
disana adalah seperkandung sepertalian. Menepis segala ketakutan dan kekhawatiran.
Alhamdulillah sampai saat ini semua sangat baik-baik saja. Itu sebabnya atas
rezeki yang begitu banyak ini, saya takut Tuhan marah. Semoga kami selalu
statis pada apapun gelombangnya. Keseharian saya lakukan begitu saja. Saya
tahu di luar sana banyak yang tidak seberuntung ini, saya berusaha menjaga
segala tatanan cosmogenik ini sebaik-baiknya. Pagi saya lewati dengan bangun pukul 5 am
subuh, dan ini adalah sebuah keharusan. 3 buah opsi menawarkan untuk dilewati.
Tapi saya memilih bis biru nan gagah, bersih, dingin, dan sedikit sombong untuk
terus berjalan meskipun kita sudah berlari-lari mengejarnya. Setelah menyetor
tubuh saya ke dalamnya. Saya diperbolehkan meneruskan tidur yang kurang tadi.
Kemudian untuk sangketa pemulangan ke kandang. Biasanya saya memilih berkereta.
Namun kelelahan menepis suku barbar dan primitif yang semuanya ingin masuk ke
dalam transportasi yang dibatasi itu akhirnya melumpuhkan saya. Entah karena
pembuluh kapiler sedang membelah menjadi 2, tapi akhirnya Tuhan masih belum
mempercayakan saya. Memilih opsi sayang tubuh sayang jasmani, saya pun harus
sampai di rumah paling cepat jam 8. Keseharian berjalan nikmat dengan saya
yang membawa diri ini seorang diri. Entah bagaimana dengan nanti. Bagaimana
saya mengurus anak-anak yang saya doakan dalam setiap sujud saya sekarang.
Maka masuklah pembicaraan ini ke analogi
rasa yang kedua. Masih berkutat pada Dream.
Ohh..,, dan apakah saya seorang pemuja
mimpi hingga selalu tertidur dan lupa rasanya pada kedunia-an yang
sesungguhnya.
Ohh.. Dan adakah karma yang menyusup pada
pertalian takdir sehingga adakala ketika saya salah berucap dan menjadikan
titik hitam pada hati yang sebelumnya putih, hingga termakan semua
bulat-bulat..
Ohh. Dan adakah semacam kesabaran tengah
diuji buah dari hasil entah dikali entah ditambah entah untuk menikmati hasil
yang juga entah.
Tuhan, aku tidak pernah kecewa padaMu. Aku
kecewa pada limit diriku. Jika memori silam kupanggil, dan betapa
keberuntungan selalu ada di pihakku. Tapi semua perlahan berubah. Saat kita
tidak lagi ingin menjadi pemeran utama. Krisis inner maupun outer melumpuhkan
semua. Tidak lagi menjadi aurora pada rintihan gelap. Semua menjadi sama. Saya mengikhlaskan keterlemparan yang saya
sadari untuk terlempar. Tidak kunjung menemukan temali untuk mengangkat posisi.
Sepertinya hidup menjadi para penonton ombak yang berguncang. Dilapisi kaca
yang begitu tebal maka resmilah kita sebagai penonton. Haruskah saya protes, bahwa saya sudah
terlantung-lantung selama 3 tahun ini. Hampir pingsan, kecopetan, hingga
perjuangan sejenis apapun sudah saya lewati.
Lagi-lagi entah bayangan gelap apa yang
mengikuti, ada saja kegagalan menyambut hari-hari.
Iri.., iya iri berat dengan
mereka yang tidak memakan waktu berjam-jam untuk tiba di rumah. Baju tidak
turut lecek, bersuhu udara dingin tanpa merusak make up, atau berdesak-desakan
antara hidup dan mati. Hidup tenang dan begitu nyaman. Uang, jabatan, dan
kehormatan mengalir turun temurun. Semua respect-hormat dan tahu menahu jenis
kulit apa yang menempel pada tubuhmu. Penghasilanmu hanya digunakan semata-mata
membeli beberapa jenis lipstik 500K. Tidak ada yang perlu kau lawan, kau susah
payah mencari mengumpulkan, semua akan mengalir sesuai arahnya.Indahnya. Meskipun nominal gaji tidak
seberapa. Tapi posisinya konon sangat terhormat. Bulat-bulat aku menelan performa garis
keturunan serba ada ini. Nominal gaji saya yang tidak seberapa ini tidak pernah
naik menjadi yang diimpikan selang 3 tahun terakhir. Harus mengencangkan ikat
pinggang ekstra untuk mengumpulkan uang tabungan kisaran 30 jutaan dalam
rentang waktu setahun. Untuk membeli antibiota impian, atau mencukupi printilan
pernikahan. Kutu loncat tidak menjadi bagian dari
takdirku sebagai penjurus departemen tidak awam, yang konon tidak begitu
dibutuhkan. Sekali lagi telan bulat-bulat. Magister juga bukan pilihan baik mengingat
kehidupan pasca menikah dibutuhkan kemapanan untuk menyambut jabang bayi agar
tidak kurang suatu apa.
Maka, jadilah kita menunggu keajaiban yang
entah apa. Impian Milik Negara yang menjamin uang pensiunan anak cucu ketika
raga tidak lagi bernyawa runtuh. Hadiah Tuhan pada dua kesempatan silam gagal
hingga proses wawancara. Dan tahun ini moratorium membekukan harapan manusia di
ujung tanduk ini.
Inilah ranah bumi manusia yang harus ditepis. Kegagalan
bukanlah impian. Tapi selalu ada di depan pintu. Menyapa kalau-kalau kamu mau
lagi dibawanya.
Tiba pada antalogi rasa yang ketiga.
Proses menulis serdadu menjijikan ini
harus banget dilalui? Sooo.., SUCK!!
Ternyata menginjakkan kaki di J town ini.
Masih ada orang 'ndeso yang ngga ngerti arti kata "each other" dan ga
bisa nulis "tuesday" atau "thursday". Atau di tengah socmed
yg terkenal "PATH" ditulis "repeat". Betapa di era yang
bahkan anak playgroup serba ke-Bahasa Inggris-an, ada manusia jetlag yang masih
se-bodoh ini. Buat apa saya sekolah sampai sejauh ini, menghabiskan biaya yang
iba kalau flashback ngeliat keringet orang tua yang jatuh, untuk digabungkan
atau bahkan di-bawahi dengan manusia tipekal naudzubillah mendzalik ini. Ada 11 bulan yang harus diitung mundur
untuk merubah nasib. Atau justru takdir yang menyapa duuan dengan sangat baik untuk merubah
segalanya.
Kemudian adalagi pelacur, pemfitnah, orang susah
yang pura-pura kaya raya, dan penyombong yang ngga punya apa-apa. Yang urusan
rumahnya serba tak terurus dan urusan manusia lain menjadi kambing hitamnya.
Yang menjilat penuh aneka rasa, berpura-pura menjadi kaum sufi padahal jelmaan
pendosa, penzina, pemaksiat besar. Sangat menjijikan sodara-sodara. Air Wudhu
hampir tidak pernah membasahi wajahnya. Hidup yang sangat rendah tapi berbicara
meninggi. Ambisius mengejar hibah yang bukan dari hasil keringat. Tapi hasil
menjilat mungkin. Lidah setajam pisau memojokkan sesorang
pada posisi terdzalimi. Demi waktu yang mengalir lebih panjang,
aku ingin sekali menyaksikan keruntuhan kaum ini. Semoga Tuhan menutup pintu
hidayahnya bagi mereka.
-bersambung-