About Me
- Adhiestfhee
- Indonesia
- Analytic person, Fantastic dreamer, Sensitive feeling, but actually I am kind, friendly and fun
Rabu, 12 Agustus 2015
Terapi Trilogi Rasa
Terapi.. Terapi.. Terapi..
Tuhan, aku tidak pernah kecewa padaMu. Aku kecewa pada limit diriku. Jika memori silam kupanggil, dan betapa keberuntungan selalu ada di pihakku. Tapi semua perlahan berubah. Saat kita tidak lagi ingin menjadi pemeran utama. Krisis inner maupun outer melumpuhkan semua. Tidak lagi menjadi aurora pada rintihan gelap. Semua menjadi sama. Saya mengikhlaskan keterlemparan yang saya sadari untuk terlempar. Tidak kunjung menemukan temali untuk mengangkat posisi. Sepertinya hidup menjadi para penonton ombak yang berguncang. Dilapisi kaca yang begitu tebal maka resmilah kita sebagai penonton. Haruskah saya protes, bahwa saya sudah terlantung-lantung selama 3 tahun ini. Hampir pingsan, kecopetan, hingga perjuangan sejenis apapun sudah saya lewati.
Iri.., iya iri berat dengan
mereka yang tidak memakan waktu berjam-jam untuk tiba di rumah. Baju tidak
turut lecek, bersuhu udara dingin tanpa merusak make up, atau berdesak-desakan
antara hidup dan mati. Hidup tenang dan begitu nyaman. Uang, jabatan, dan
kehormatan mengalir turun temurun. Semua respect-hormat dan tahu menahu jenis
kulit apa yang menempel pada tubuhmu. Penghasilanmu hanya digunakan semata-mata
membeli beberapa jenis lipstik 500K. Tidak ada yang perlu kau lawan, kau susah
payah mencari mengumpulkan, semua akan mengalir sesuai arahnya.Indahnya. Meskipun nominal gaji tidak
seberapa. Tapi posisinya konon sangat terhormat. Bulat-bulat aku menelan performa garis
keturunan serba ada ini. Nominal gaji saya yang tidak seberapa ini tidak pernah
naik menjadi yang diimpikan selang 3 tahun terakhir. Harus mengencangkan ikat
pinggang ekstra untuk mengumpulkan uang tabungan kisaran 30 jutaan dalam
rentang waktu setahun. Untuk membeli antibiota impian, atau mencukupi printilan
pernikahan. Kutu loncat tidak menjadi bagian dari
takdirku sebagai penjurus departemen tidak awam, yang konon tidak begitu
dibutuhkan. Sekali lagi telan bulat-bulat. Magister juga bukan pilihan baik mengingat
kehidupan pasca menikah dibutuhkan kemapanan untuk menyambut jabang bayi agar
tidak kurang suatu apa.
Kemudian adalagi pelacur, pemfitnah, orang susah yang pura-pura kaya raya, dan penyombong yang ngga punya apa-apa. Yang urusan rumahnya serba tak terurus dan urusan manusia lain menjadi kambing hitamnya. Yang menjilat penuh aneka rasa, berpura-pura menjadi kaum sufi padahal jelmaan pendosa, penzina, pemaksiat besar. Sangat menjijikan sodara-sodara. Air Wudhu hampir tidak pernah membasahi wajahnya. Hidup yang sangat rendah tapi berbicara meninggi. Ambisius mengejar hibah yang bukan dari hasil keringat. Tapi hasil menjilat mungkin. Lidah setajam pisau memojokkan sesorang pada posisi terdzalimi. Demi waktu yang mengalir lebih panjang, aku ingin sekali menyaksikan keruntuhan kaum ini. Semoga Tuhan menutup pintu hidayahnya bagi mereka.
Kamis, 30 April 2015
Tuhan jangan marah...
Kebahagiaan dan kesedihan adalah roh tiada henti yang terus bergantian mengelilingi kita. Sedang kita adalah lintasan istimewanya.
Kebahagiaan adalah ketika kau dikelilingi orang-orang yang turut membahagiakan kebahagiaanmu.
Akan ada orang-orang prioritas yang menjadi sumber kebahagiaanmu. Tapi apakah orang-orang tersebut memikirkan juga orang-orang prioritasmu.
Hidup di dunia ini akan selalu sendiri. Sebagaimana kau dilahirkan sendiri, berpulang pun sendiri. Mengharapkan hal yang tidak sesuai dengan mekanisme kita hanya akan menyakiti diri sendiri. Bersendirilah! Menyendirilah ! Kesendirianlah!
Menyatukan dua kebahagiaan dalam satu ikatan. Mereka bilang awal dari sebuah coba. Sebuah uji. Dan aku, tidak pernah berfikir bahwa hak kemerdekaanku akan dimatikan. Tidak pernah.
Aku seperti kamu.
Lahir dengan sama bebasnya.
Menyekatku dalam sangkarmu sama halnya MEMBUNUH KEBAHAGIAANKU.
Maka jangan matikan hak kemerdekaanku. Jangan matikan cita-citaku. Karena dengan itulah aku hidup.
Aku tidak berharap banyak pada surga yang entah sesungguhnya ada di kaki siapa. Se-ringan itukah surga yang luas itu dipindahkan. Entah dengan kesepakatan siapa dengan siapa pemilik surganya.
Bagiku surgaku sama dengan konsep surgamu. Itupun Jika memang surga itu benar adanya.
Aku ingin hidup ini berbalas. Jika dan bilamana aku melakukan sesuatu, lakukanlah pula untukku. Karena aku sudah kelelahan memahami hidup.
Atau kah aku besar tanpa melalui proses. Ataukah proses itu yang kau benci, maka kau benci lah diriku sejadi-jadinya. Kesemuaannya. Seutuhnya.
Aku ingin hidup ini pada arah yang sama. Jika aku memahami, kau tidak, maka hancurlah kita. Dan jika kau menginginkan, aku pun tidak, rasa pun mati.
Ketidaksepakatanlah yang membuat kita terbentur satu sama lain. Duduk berdua membicarakan sesuatu tidak pernah kudapatkan hasilnya. Mungkin ikatan adalah buah cinta biota dan layar. Sebuah hubungan biotik dan anbiotik.
Ketika kau masukkan kakimu pada sungai yang mengalir, kau tidak akan bertemu air yang sama sebanyak dua kali. Kita Hidup dalam sebuah proses. Tidak ada yang abadi pada dunia ini. Semua berubah. Yang abadi adalah perubahan itu.
Bumi berotasi, aku berotasi, kamu berotasi, dan pada kesempatan yang lain kita tidak pernah bertemu satu sama lain. Merasakan orang-orang berjiwa besar ini adalah keberkahan. Pernah diciptakannya sebuah rumah, sebuah keluarga yang bahkan lebih nyaman dari rumah sungguhanmu.
Betapa Tuhan Maha Baik padamu.
Aku tidak peduli nominal, tidak peduli jabatan, tidak peduli percepatan, ambisi, penjilatan. Aku mencari rumah tempat aku hidup dan Qana'ah. Kemudian "pembangun" rumah itu pergi satu persatu. Akankan rumah tetap sama keadaan hangatnya. Akankah?
Haruskah ku uraikan karakter mereka?
Setiap hari aku berceloteh. Menarasikan hasil guyonan hari ini. Menceritakan betapa bahagianya aku saat ini.
Aku akan memulainya. Semoga besarlah, tinggilah, agar aku mencapai kesepakatanku sendiri.
Dan setelah masa membahagiakan itu aku pun memohon pada Tuhan, Tuhan jangan marah. Tuhan kumohon jangan marah....
Kebahagiaan adalah ketika kau dikelilingi orang-orang yang turut membahagiakan kebahagiaanmu.
Akan ada orang-orang prioritas yang menjadi sumber kebahagiaanmu. Tapi apakah orang-orang tersebut memikirkan juga orang-orang prioritasmu.
Hidup di dunia ini akan selalu sendiri. Sebagaimana kau dilahirkan sendiri, berpulang pun sendiri. Mengharapkan hal yang tidak sesuai dengan mekanisme kita hanya akan menyakiti diri sendiri. Bersendirilah! Menyendirilah ! Kesendirianlah!
Menyatukan dua kebahagiaan dalam satu ikatan. Mereka bilang awal dari sebuah coba. Sebuah uji. Dan aku, tidak pernah berfikir bahwa hak kemerdekaanku akan dimatikan. Tidak pernah.
Aku seperti kamu.
Lahir dengan sama bebasnya.
Menyekatku dalam sangkarmu sama halnya MEMBUNUH KEBAHAGIAANKU.
Maka jangan matikan hak kemerdekaanku. Jangan matikan cita-citaku. Karena dengan itulah aku hidup.
Aku tidak berharap banyak pada surga yang entah sesungguhnya ada di kaki siapa. Se-ringan itukah surga yang luas itu dipindahkan. Entah dengan kesepakatan siapa dengan siapa pemilik surganya.
Bagiku surgaku sama dengan konsep surgamu. Itupun Jika memang surga itu benar adanya.
Aku ingin hidup ini berbalas. Jika dan bilamana aku melakukan sesuatu, lakukanlah pula untukku. Karena aku sudah kelelahan memahami hidup.
Atau kah aku besar tanpa melalui proses. Ataukah proses itu yang kau benci, maka kau benci lah diriku sejadi-jadinya. Kesemuaannya. Seutuhnya.
Aku ingin hidup ini pada arah yang sama. Jika aku memahami, kau tidak, maka hancurlah kita. Dan jika kau menginginkan, aku pun tidak, rasa pun mati.
Ketidaksepakatanlah yang membuat kita terbentur satu sama lain. Duduk berdua membicarakan sesuatu tidak pernah kudapatkan hasilnya. Mungkin ikatan adalah buah cinta biota dan layar. Sebuah hubungan biotik dan anbiotik.
Ketika kau masukkan kakimu pada sungai yang mengalir, kau tidak akan bertemu air yang sama sebanyak dua kali. Kita Hidup dalam sebuah proses. Tidak ada yang abadi pada dunia ini. Semua berubah. Yang abadi adalah perubahan itu.
Bumi berotasi, aku berotasi, kamu berotasi, dan pada kesempatan yang lain kita tidak pernah bertemu satu sama lain. Merasakan orang-orang berjiwa besar ini adalah keberkahan. Pernah diciptakannya sebuah rumah, sebuah keluarga yang bahkan lebih nyaman dari rumah sungguhanmu.
Betapa Tuhan Maha Baik padamu.
Aku tidak peduli nominal, tidak peduli jabatan, tidak peduli percepatan, ambisi, penjilatan. Aku mencari rumah tempat aku hidup dan Qana'ah. Kemudian "pembangun" rumah itu pergi satu persatu. Akankan rumah tetap sama keadaan hangatnya. Akankah?
Haruskah ku uraikan karakter mereka?
Setiap hari aku berceloteh. Menarasikan hasil guyonan hari ini. Menceritakan betapa bahagianya aku saat ini.
Aku akan memulainya. Semoga besarlah, tinggilah, agar aku mencapai kesepakatanku sendiri.
Dan setelah masa membahagiakan itu aku pun memohon pada Tuhan, Tuhan jangan marah. Tuhan kumohon jangan marah....
Langganan:
Postingan (Atom)