About Me

Foto saya
Indonesia
Analytic person, Fantastic dreamer, Sensitive feeling, but actually I am kind, friendly and fun

Jumat, 18 November 2011

Tangga - Utuh

only comes in the right time...

Saat perempuan di titik nol, saya pikir mudah memasuki rongga-rongga stigma di peredaran hati. Saya tidak butuh apa, saya hanya takut sendirian untuk berjalan menapaki langkah demi langkah. Saya khawatir akan ketidakpastian duniawi. Saya lelah. Saya cemas. Karena bagi saya, ini mengerikan. Saya tidak berarti. Saya kaum peraduan kekalahan. Saya tidak sanggup memulai. Tapi saya juga tidak mau dibuai iming-iming fiksi mini.


Mudah bagi saya menjatuhkan hati ini dimana saja. Tapi akankah dia menembus hierarki teratas saat saya ada dititik nol. Saya kosong, saya tidak berfikir apa. Mencari persamaan atau mindset idaman tidak juga saya temukan. Sudahlah, dia diam dan hanya berdiri disini mungkin sudah cukup.


Kemudian keadaan membalik, saya harus diam. Terjadi fenomena monotonisasi satu arah. Kualitas diri yang membutuhkan pembidanan menjadi tumpul. Ulasan demi ulasan hanya membuat saya merindukan orang lain disana. Membuat saya ingin berlari mencarinya, atau sekedar memeluknya karena rindu yang tak pernah habis dimakan waktu. Determinasi perempuan bodoh yang habis dimakan perasaan. Keadaan yang mungkin tidak pernah menjadi causa timbal balik.
Saya benci ini, harus membanding-bandingkan ataupun berharap keadaan sempurna yang memang tidak pernah ada. Sampai saat ini saya mencoba menerima, tanpa alasan yang tepat untuk beralih.
Sudahlah, kenapa manusia selalu dibebani tampilan kasat mata. Kenapa keistimewaan buah dari kepalanya tidak bisa melengkapi diri saya yang kosong. Kenapa?? Kenapa ini menjadi satu arah, satu persepsi, satu asumsi, satu penerimaan, satu determinan, satu, dan hanya satu,.. Mungkin karena alasannya memang cuma satu...


Harusnya saat ini saya penuh rasa syukur, saya kasmaran, saya dikelilingi bunga imajinasi yang segar serta pacuan jantung yang lebih dari biasanya. Seketika fikiran harusnya langsung dipenuhi beban-beban pembuang waktu tak berguna. Kemudian penantian, kemudian pengharapan, kemudian iming-iming ketidakpastian. Kemudian peraduan argumen di kepala, kemudian uji hipotesa penerimaan atau penolakan tanda persetujuan. Kemudian kaki kembali menyentuh tanah. Tentang realitas yang kian jauh. Tentang mimpi yang tidak boleh berubah. Tentang hariku yang membutuhkan fase metamorfosa...
Serahkan sajalah, pada akhirnya tetap saja saya yang harus menentukan kehidupan saya sendiri. Mungkin dia jawabannya, atau mungkin Tuhan sedang mecoba melunakkan hati saya. Mungkin Tuhan ingin saya yang lebih baik. Atau mungkin kembali pada iming-iming fiksi mini peraduan dari kaum kekalahan.
Mungkin Dia akan ada di saat yang tepat. Dia.. Siapa Dia??

Rabu, 16 November 2011

Listen my Heart's saying...

Sebelum ini aku pernah menjadi kepingan tak bertuan. Pecahan dan bulir-bulir yang tak tahu arah tujuan.
Sebelum ini aku gundah tak berkecukupan, mencari-cari arti. Sedemikian tak berartinya kah diri ini? Seperti pecundang lemah yang bertumpu dan kemudian dibuai oleh iming-iming fiksi mini karena lelah berjalan, lelah berlari, dan menjadi lambat atau bahkan berhenti. Dunia diam. Semesta diam. Mungkin iba melihat aku yang terlunta-lunta. Lelah berkompetisi, atau terdeterminasi sebagai pecundang. Bahkan aku belum menyentuh arenanyaa karena aku terlalu takut sebagai pecundang.

Sebagai apa aku menyebutkan diriku, loser kah, pecundang kah?! Kemudian kembali mencari-cari mentari, Tuhan, apakah ini sudah senja, apa ini sudah renta?

Disela sela keterpurukan entah dari mana aku harus memulai...

Dari kecil aku tumbuh dan menjadi dewasa memang tanpa cita-cita yang pasti. Tapi kepastian dalam hidupku adalah aku manusia yang berkeinginan. Yang menjadi keyakinanku adalah aku hanya ingin menjadi perempuan yang berbeda. Dalam kasat mata duniawi aku ingin mengangkat derajat kedua orang tuaku di mata manusia. Gamang, sampai sekarang keinginan itu bias tanpa signifikansi. Lagi-lagi di sela-sela rasa kejatuhan akan harap, pengharapan yang tidak tahu diri ini pun tidak hilang diberantas.

Dalam permasalahan yang silih kian satu menghampiri dan yang lain terlewati  begitu saja, aku tidak banyak bisa berharap lebih. Apalagi berkeinginan untuk mengendalikan segala sesuatu. Sudahi saja ya Tuhan, Ya aku sempat berfikir begitu. Kenapa malaikat pencabut nyawa tidak datang juga, apa harus aku yang menghampirinya. Tuhan, aku tidak sekuat itu untuk jatuh dan jatuh lagi di kehidupan selanjutnya. Aku tidak pernah menyalahkan keadaan atau keterlemparan ini. Aku ikhlas.. Tercipta sebagai perempuan adalah hidayah yang paling indah. Dikelilingi orang-orang hebat layaknya bonus dalam hidupku. Terstigma dalam suatu idealisme dengan kukuh, adalah bentuk keberkahan tak terhingga. Dan ketika dunia kini telah menjadi apa, aku di titik ini Ya Rabbku. Akalku bertindak, hatiku berfikir, rasioku mengalir, menafsirkan satu persatu interpretasi yang kadang tak mampu ketiganya menjawab.

Lalu kemudian, satu persatu malaikat Tuhan melemparkan penyangga. Kepingan-kepingan kian berkerumun membuat sebuah bentuk. Mungkin tak bersenyawa, mungkin tanpa harap, mungkin dengan fiksi mini iming-iming dari kaum kekalahan. Atau mungkin, sebuah jawaban atas determinan-determinan abadi.
Lagi-lagi hati bertanya, "apa itu harap?"